Saturday, June 1, 2013

SAAT GUSTI ALLAH MENCIPTAKAN IBU



Ketika itu, Gusti Allah telah bekerja enam masa lamanya. Kini, giliran diciptakan para ibu. Seorang malaikat menghampiri Gusti Allah dan berkata lembut: “Gusti Allah, banyak nian waktu yang Gusti Allah habiskan untuk menciptakan ibu ini?”
Dan Gusti Allah pun menjawab: “Tidakkah kamu lihat perincian yang harus dikerjakan? Ibu ini harus waterproof, tapi bukan dari plastik. Harus terdiri dari 180 bagian yang lentur, lemar dan tidak cepat lelah. Ia harus bisa hidup dari sedikit teh kental dan makanan sekedarnya. Memiliki kuping yang lebar untuk menampung keluhan. Memiliki ciuman yang dapat menyembuhkan kaki yang keseleo. Lidah yang manis untuk merekatkan hati yang patah dan enam pasang tangan.”
Malaikat menggeleng-gelengkan kepalanya. “Enam pasang tangan?? Ck..ck..ck..”
 “Tentu saja bukan tangan yang merepotkanku, melainkan tangan yang melayani sana-sini, mengatur segalanya menjadi baik.” Balas Gusti Allah. “Sepasang tangan pertama diangkatnya untuk memohon kepada-Ku. Dipintanya keselamatan anak-anaknya, juga kesehatan, kesejahteraan dan kebahagiaan mereka. Sepasang yang kedua dipakainya untuk menggendong, mengelus dan membelai. Untuk menunjukkan cintanya melalui sentuhan. Yang ketiga Kubuat lebih kuat. Untuk memasak, mencuci dan melayani kebutuhan anggota rumahnya. Sepasang yg keempat Kulengkapi dengan kulit anti jijik. Karena tangan itu dipakainya untuk mengurusi muntah dan segala kotoran si anak. Sepasang tangan kelima digunakan untuk mengurut dadanya. Untuk meluaskan lagi kelapangan hatinya menerima kesalahan dan kebandelan sang anak. Ini penting agar tidak mudah keluar kutuk dari mulutnya. Karena tiap pintanya adalah kewajiban yang Ku-bebankan atas diri-Ku. Sepasang yang terakhir, dan ini dipakainya jika terpaksa untuk memukul atau menjewer kuping sang anak yang membandel. Tapi lagi-lagi dengan cinta, karena tujuannya tak lain sekedar kesadaran anaknya yang malas belajar atau demi kesehatan anaknya yg enggan makan.”
Malaikat manggut-manggut saja.
“Juga tiga pasang mata yang harus dimiliki para ibu,”tambah Gusti Allah lagi.
“Bagaimana modelnya?” malaikat semakin heran. Gusti Allah melanjutkan, sepasang mata yang dapat menembus pintu yang tertutup rapat dan bertanya: “Apa yang sedang kau lakukan di dalam situ?” padahal sepasang mata itu sdh mengetahui jawabannya. Sepasang mata yang kedua sebaiknya diletakkan di belakang kepalanya, sehingga ia bisa melihat ke belakang tanpa harus menoleh. Dan pasang mata ketiga untuk menatap lembut seorg anak yang mengakui kekeliruannya. Mata itu harus bisa bicara: “Saya mengerti dan saya sayang kamu”. Meski tidak diucapkan sepatah katapun.
Malaikat masih mendengarkan dengan sangat tekun saat Gusti Allah melanjutkan kembali.
“Tahukah kau, darah ibu itu bisa menjadi susu yg bergizi. Liurnya menjadi antiseptic luka. Elusannya jadi terapi dan ucapannya jadi obat penenang.”
“Ajaib!” jawab malaikat. Kemudian malaikat membolak-balik contoh ibu dengan perlahan “Terlalu lunak,” katanya memberi komentar.
“Tapi kuat!’ kata Gusti Allah bersemangat. “Tak akan kau bayangkan betapa banyak yang bisa ia tanggung, pikul dan derita. Kepayahannya telah mulai ketika Kutumpangkan detak kehidupan dlm perutnya. Deritanya memberat lagi ketika sebuah kepala mungil mendesak ingin keluar. Ia merintih kesakitan, tp sedetik tersenyum. “Tak mengapa, ini demi buah hatiku,” cetusnya lewat elusan lembut pertama pada kulit merah sang bayi. Aku menuntut satu pilihan nyawa pd beberapa proses kelahiran, maka ibu yang beberapa itu serentak berkata, “Biarlah aku yang menjadi tumbal dan anakku hidup dan menikmati indahnya dunia.” Begitu perasaan keibuannya Kuciptakan secara kodrat. Ia pasti selalu mendahulukan anaknya. Tp telah kupahamkan org-org di sekelilingnya, bahwa ibu adalah kehidupan. Menjaga ibu berarti menjaga kehidupan. Maka ibulah yang diselamatkan. Dan Aku tidak menjadikan kesabaran atas kesakitan dan kesedihannya sia-sia di sisi-Ku. Anaknya adalah simpanan yang akan melayaninya di surga. Bila Aku menghendaki lain, maka itu semata-mata kerahiman-Ku ingin menghadiahkan ganjaran syahid atas pengorbanannya.
“Istimewa sekali makhluk yg Kau cipta ini, Gusti Allah”
Ibu adalah reservoir kasih-Ku di muka bumi. Ia adalah sumber limpahan kasih sayang yg tak akan putus sepanjang masa kehidupannya. Kecintaannya adalah kecintaan-Ku. Murkanya adalah murka-Ku. Pengabdian padanya adalah ibadah terafdhal di sisi-Ku. Mulia orang yang memuliakannya. Terhina orang yang menghinakannya. Surga dan neraka seorang anak ada di telapak kakinya.”
“Apakah ia dapat berpikir?” Tanya malaikat lagi.
“Ia bukan saja dapat berpikir, tapi juga dapat memberi gagasan, ide dan berkompromi.” Kata sang Pencipta.
Akhirnya malaikat menyentuh sesuatu di pipi. “Eh, ada kebocoran di sini.”
“Itu bukan kebocoran,” kata Gusti Allah. “Itu adalah air mata...air mata kesenangan, air mata kesedihan, air mata kekecewaan, air mata kesakitan, air mata kesepian, air mata kebanggaan, air mata...air mata...”
“Gusti Allah memang ahlinya...” malaikat berkata pelan.
Ibu adalah perempuan yang begitu sempurna. Kasih sayangnya membuat kita tumbuh dewasa. Keikhlasannya mengandung kita selama 9 bulan adalah sebuah ibadah yang takaran plusnya tidak bisa dibeli oleh kefanaan dunia. Belum lagi perjuangannya dalam melahirkan, dimana suatu erangan panjang kelahiran adalah detak jantung bunda, yang bisa saja-jika Allah berkehendak-terhenti. “Dan Kami perintahkan kepada manusia berbuat baik kepada ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah...” demikian perintah Allah di surat Luqman ayat 14. banyak orang menggambarkan bahwa melahirkan adalah pertarungan hidup dan mati. Dan begitu si bayi keluar, ada tugas panjang siap menanti, memberi kasih sayang dan perhatian hingga si bayi tumbuh menjadi dewasa.
            Begitu panjang penjabaran jihad seorang perempuan demi kelangsungan hidup manusia di muka bumi. Betapa besar pengorbanannya. Wajar saja bila semua itu dibayar mahal dengan ketentuan bahwa surga di bawah telapak kaki ibu. Bahkan, ketika Rasulullah ditanya siapa yangg harus diutamakan dalam penghormatan, beliau tiga kali berturut-turut mengatakan “ibumu”.
            Dan bunda...telah menjadi muara kebaikan dari segala perjalanan panjang ibadah di kefanaan...
(dari berbagai sumber)
Design by Abdul Munir | Edited By Djava.Jr | Supported By VanLou