Monday, June 10, 2013

BELAJAR SHOLAT DARI IBNU ARABI



Ibn Arabi menguniversalkan konsepsi shalat, dengan meletakkannya dalam suatu konteks kosmologis, melalui penafsiran atas gerakan-gerakan tubuh dalam shalat:)
“Sebagaimana keberadaan (wujûd) (tercipta) oleh gerakan yang mengubah dunia dari ketiadaan kepada keberadaan, shalat pun meliputi gerakan-gerakan (yang melambangkan hal itu). Gerakan-gerakan shalat dapat dibagi ke dalam tiga kelompok: gerakan vertikal, yakni ketika orang yang shalat berada dalam keadaan berdiri; gerakan horizontal, yakni ketika orang yang shalat berada dalam keadaan ruku‘; dan gerakan menurun, yakni ketika ia berada dalam keadaan bersujud.”

Ketiga kelompok gerakan shalat ini setara dengan bentuk-bentuk-kehidupan dasar dalam dunia ciptaan. Yang pertama —berdiri—setara dengan manusia, mengingat manusia adalah makhluk yang berdiri tegak. Yang kedua—ruku‘—dengan hewan, yang memang berjalan dalam keadaan tubuhnya ber- ada dalam posisi horizontal. Dan yang ketiga—bersujud dalam keadaan tenang—setara dengan tanaman dan benda-benda mati lainnya yang tak memiliki gerakan internal mereka sen- diri dan harus digerakkan oleh sesuatu yang lain. Hal ini sekaligus sejalan dengan firman-Nya,  “Kami ciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk (yakni manusia dengan segala kele- bihannya), lalu kami empaskan dia hingga ke kerendahan yang serendah-rendahnya (yakni benda mati).”
(Sayyid Haidar Amuli, ahli Ibn Arabi yang banyak me-nulis buku untuk memopulerkan pikiran-pikiran Ibn Arabi, menambahkan bahwa—boleh jadi—ketiga gerakan itu menyimbolkan tiga kelompok malaikat yang masing-masingnya memiliki tugas untuk terus berdiri, duduk, dan bersujud.)
Dengan demikian, selain merupakan titik pertemuan antara Tuhan dan manusia, shalat menjadi suatu mikrokosmos (yang merepresentasikan) makrokosmos dunia ciptaan, dari ketiada- an kepada keberadaan. Orang yang shalat, ketika melakukan gerakan-gerakan yang diwajibkan di dalamnya, sesungguhnya sedang melakukan suatu perangkuman simbolik proses pen- ciptaan dunia. Dan jika yang melakukan shalat itu adalah seorang ‘ârif (yakni, orang-orang  yang telah mencapai ting- katan spiritual) yang sempurna, maka melihat Tuhan telah menyempurnakan  proses itu dan menghasilkan suatu keber- satuan total antara manusia, Tuhan, dan (alam-) ciptaan.
Mengenai jumlah rakaat—yakni 2, 3, dan 4 rakaat—hal itu merupakan gabungan antara berbagai jumlah rakaat shalat yang dilakukan oleh nabi-nabi terdahulu. Diriwayatkan bahwa Nabi Adam melakukan shalat 2 rakaat, Nabi Nuh 3 rakaat, dan Nabi Ibrahim 4 rakaat. Jumlah rakaat ini juga sejalan dengan shalatnya para malaikat sebagaimana dilambangkan dengan pernyataan Al-Quran, yakni bahwa para malaikat itu terbang dengan sayap-sayap mereka”:
“Segala puji bagi Allah, Sumber lelangit dan bumi, Sang Pencipta malaikat,  para pesuruh yang terbang dengan sayap- sayap (mereka): dua, tiga, dan empat .... Perbedaan-perbedaan ini kiranya juga sejalan belaka dengan firman-Nya, Setiap orang berbuat sejalan dengan caranya dan Dia mengetahui shalatnya  siapa saja dan bagaimana mereka mengagungkan Allah. Allah tahu apa saja yang mereka kerjakan.
Shalat dilakukan lima kali sehari sejalan dengan kepemilik- an pancaindra manusia. Meskipun dibutuhkan untuk kehi- dupan manusia di dunia ini, kelima indra itu selalu terarah kepada “kegelapan dunia materiil. Jika tidak dikendalikan, hati manusia akan cenderung dikotori dan digelapkan oleh kesibukannya dengan dunia materiil ini dan, dengan demi- kian, terhijab dari dunia cahaya (ruhani), dan hubungannya dengan Tuhan dapat terputus. Lima waktu shalat itu ditetap- kan untuk mengimbanginya, mengingat dalam shalat pintu kelima indra itu (seharusnya) ditutup untuk menapis pengaruh aspek gelap dunia materiil itu.
Demikianlah, dalam shalat, kepasrahan dan kerendah-dirian anggota tubuh, pemeliharaan dan pembersihannya dari pengaruh-pengaruh buruk, pengingatan, pengagungan, dan pemujian Allah oleh lisan, penyelarasan yang lahir dan batin melalui niat, penghindaran dari kenikmatan-kenikmatan indriawi, pengingatan keadaan-keadaan dunia malakût (ruhani) dan jabarût (hadirat atau wilayah Allah), pendekatan tubuh kepada kedua dunia ini dan kepada hamba-hamba Allah yang paling dekat (kepada-Nya), kesemuanya ini menyebabkan naiknya hati dan ruh kepada Hadirat Kesucian, mendekatnya ia kepada Yang Sejati (Haqq), pemberian anugerah dari dunia cahaya, perolehan kebenaran-kebenaran ma‘rifah dan ruhani, serta dukungan dari dunia malakût dan jabarût.
Shalat ditetapkan sebagai suatu bentuk ibadah yang men- cakup bentuk-bentuk kepasrahan dan kerendahdirian. Ketak- nyamanan anggota-anggota tubuh yang telah dijauhkan dan dibersihkan seperlunya dari keburukan-keburukan (kenik- matan) duniawi, ketetapan hati untuk mendekat kepada-Nya, keikhlasan niat dan ketetapan langkah-langkah untuk mengingat-Nya, yang mengagungkan dan memuji-Nya dengan suatu cara yang sesuai dengan Hadirat-Nya, perendahan diri secara total di hadapan Kekuasaan-Nya, dan ketaatan kepada Perintah dan Keadilan-Nya, semuanya itu merupakan unsur-unsur shalat (yang benar). (DISARIKAN DARI BUKU "BUAT APA SHOLAT")
Design by Abdul Munir | Edited By Djava.Jr | Supported By VanLou